Suaraposkodualima

Jumat, 26 Januari 2024

Ketum PERJAKIN: Pesan Apa Yang Dapat Disimpulkan Dari Fenomena Dinaikkannya Pajak Hiburan?

Suaraposkodualima - Dirjen Pajak Suryo Utomo kemarin didepan media massa nasional mengangkat kembali isu _analisa risiko berdasarkan profil WP yang pada dasarnya sudah diatur dalam SE Dirjen pajak zaman Robert Pakpahan, bedanya sekarang Suryo Utomo mengatakan analisa risiko itu tidak manual atau konvensional lagi tapi didukung teknologi yaitu coretax administration system (CAS).

CAS ini fungsi intinya (corenya) adalah mengelola masukan data dari Instansi pemerintah (pusat & daerah termasuk data saldo keuangan direkening bank milik WP yang diberikan bank atau LKBB ke OJK yang wajib diberikan ke Dirjen pajak terkait akses informasi keuangan untuk perpajakan) Lembaga, Asosiasi (pengusaha/profesional) dan Pihak lain (ILAP).

Dari sebanyak banyaknya data yang masuk dari ILAP tersebut akan dianalisa risikonya, artinya dianalisa WP mana yang potensial ngemplang pajak (melakukan tax evasion) untuk kemudian dilakukan pemeriksaan pajak baik pemeriksaan administrasi atau itungan utang pajak maupun pemeriksaan bukti permulaan (bukper) pidana pajak. Analisa risiko ini meliputi all taxes (semua jenis pajak) WP OP dan Badan. CAS sendiri rencananya diberlakukan mulai Juli 2024 yang akan datang.

Diluar itu belum lama ini DJP memberlakukan pengenaan PPh ps 21 masa dengan tarif selain tarif yang sudah diatur ps 17, menaikkan tarif pajak hiburan sd 75% dan sebentar lagi memperketat pengawasan thd WP melalui CAS sebagaimana saya uraikan diatas.

Lalu pesan apa yang dapat disimpulkan dari fenomena perpajakan diatas? Menurut hemat saya pesannya cuma satu yaitu pemerintahan Jokowi yang kekuasaannya lebih kurang tinggal 8 bulan ini sedang memforsir pemungutan pajak habis2an kepada rakyat untuk menutup kebutuhan belanja, kebocoran anggaran dan pembayaran utang negara. 

Sementara untuk menanggung semua beban pengeluaran tersebut rakyat harus menghadapi pungutan pajak yang imperatif (memaksa) dan benar-benar brutal.

Maka WP yang bijak akan memakai pendamping Pengacara Pajak karena satu2nya pihak yang bisa diandalkan kekuatan humumnya dalam pendampingan WP hanya Pengacara Pajak yang legitim, terpercaya ilmu dan moralnya alias legal, kredibel dan berintegritas.

Dengan adanya penggunaan teknologi dalam analisa risiko perpajakan dan peningkatan tarif pajak yang baru, pesan yang dapat disimpulkan adalah bahwa pemerintah sedang berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak untuk menutup kebutuhan belanja dan kebocoran anggaran.

Sekali lagi saya tegaskan hal ini dapat membuat beban pajak bagi masyarakat menjadi lebih berat, sehingga pilihan bijak bagi Wajib Pajak adalah untuk menggunakan jasa pengacara pajak yang legal, terpercaya, dan berintegritas untuk membantu dalam hal perpajakan. (akha)

*Penulis: Petrus Loyani, SH, MH, CTL, CTN, adalah Ketua Umum Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN),  Direktur Akademi Hukum & Bisnis Indonesia (ABHB), Lowyer, Pengamat Ekonomi dan Politik.