Suaraposkodualima

Kamis, 21 Oktober 2021

MUSABAB MASYARAKAT INDONESIA SELALU BERPRASANGKA BURUK KEPADA CHINA.

Suaraposkodualima - Ketika Orde Baru Soeharto runtuh, indoktrinasi bahwa 'komunis itu jahat' tidak ikut runtuh. Hubungan Indonesia-China akan selalu aneh karena dipengaruhi oleh 'salah paham' dan 'paham salah'. Saya punya kesan bahwa pandangan orang Indonesia terhadap China itu masih negatif. Masih ada prasangka.

Pernah saya melakukan eksperimen utk mengetahui bagaimana prasangka negatif orang Indonesia terhadap China begitu melembaga dan bahkan mengakar dalam pikiran. Dengan modal kecil, kurang lebih Rp 50.000, saya membeli bendera China di toko online. Benderanya tidak dalam ukuran kecil atau sedang, tapi dalam ukuran sangat besar: 60×100 cm. Sangat mencolok–apalagi warna merah dan gambar bintangnya. 

Lalu, bendera itu dengan sangat sengaja saya pasang di salah satu dinding bilik kerja saya. Dinding yg saya pilih adalah dinding dekat daun pintu masuk dan keluar. Kontan, begitu melihat bendera tsb, beberapa rekan kerja saya (para peneliti yang bergelut dengan ilmu pengetahuan itu), langsung kaget, terkejut, dan bengong beberapa detik. Lantas terlontarlah kata-kata yang menarik saya. Saya rangkum ada tiga jenis komentar:

1. ATEIS. 2. AGEN CINA. 3. KOMUNIS. Mari kita bedah komentar2 itu pelan-pelan.

China Ateis, artinya negara ini tidak mengakui eksistensi Tuhan apalagi agama. Doktrin resmi komunis adalah tidak mengakui Tuhan dan karena itu, sebagai sebuah negara komunis, ateisme menjadi pandangan negara China. Fakta ini menjadi beban tersendiri bagi citra China di mata orang Indonesia. Juga bagi diplomasi China ke Indonesia. 

Jelas diplomat2 China akan menghadapi pertanyaan soal ateisme ini dari zaman Zhou Enlai masih hidup sampai zaman Xi Jinping. "Mengapa kalian tidak percaya Tuhan?" Bahkan, kalangan non diplomat  seperti dosen, ilmuwan, pengusaha, atau orang awam China sekalipun ketika menginjakkan kaki di Indonesia dan berhubungan dengan rekan Indonesia, akan sewaktu-waktu menghadapi dialog soal ateisme ini.

Indonesia sendiri adalah negara yang tak kalah unik –karena tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai negara Islam, meskipun populasinya mayoritas muslim. Indonesia lebih memilih mendeklarasikan diri sebagai 'negara beragama'. Artinya, beda dengan China, Indonesia mengakui adanya Tuhan.

Restu Tuhan dalam bentuk memanjatkan doa-doa sangat penting dalam birokrasi pemerintahan dan juga dalam kehidupan orang-orang Indonesia. Tiada hari tanpa adanya Tuhan dalam kehidupan manusia di Indonesia. Dan, sejak berdirinya republik, ada kementerian khusus untuk mengurusi keagamaan.

Simbol terbaik dari religiusitas Indonesia dalam bentuk budaya adalah adanya hari libur berbasis agama. Hari lahir Nabi Muhammad, Yesus Kristus, dan Sang Buddha jadi hari libur nasional. Tahun baru dalam Kalender Islam, Kalender Masehi, Kalender Hindu/Bali pun menjadi hari libur. Hari Libur berbasis agama di Indonesia lebih banyak ketimbang hari libur berbasis sejarah nasional.

Sebaliknya, di China tidak ada sama sekali hari libur nasional berbasis agama. Hari libur nasional di China berbasis budaya kuno atau adat istiadat, dan sejarah nasional komunis. Misal, libur Imlek dan Hari Buruh.

Satu fakta penting dan krusial : di Indonesia tidak ada pakar China beserta lembaganya yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan mutakhir plus mendalam tentang China kepada kalangan pemerintah, partai2 politik, maupun publik luas yang punya minat pada China. Studi China di Indonesia sangatlah lemah. Kalau pun ada, maka bisa dipastikan pakar-pakar itu berjuang sendirian tanpa ada sokongan dari negara dan swasta.

Atau, jika pun ada lembaga studi China di sini, maka fokusnya hanya pada riset kebahasaan. Mereka membatasi diri pada studi bahasa semata. Dampaknya adalah, publik Indonesia, termasuk elit politiknya, kurang memiliki informasi akurat tentang China. 

Bahkan, ketika Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Australia begitu antusias dgn kebijakan Reformasi dan Keterbukaan-nya Deng Xiaoping dengan berbondong-bondang melawat ke China, pemerintah Indonesia tidak tertarik sama sekali dan tetap menganggap China sebagai ancaman serius. Soeharto dan lingkaran politiknya pada tahun 1980-an tidak tertarik dengan perubahan politik di China itu.

Akibatnya, publik Indonesia tidak mengetahui dampak signifikan Reformasi dan Keterbukaan (Gaige Kaifang 改革开放) dan juga tidak mengetahui sama sekali bahwa model pembangunan ala komunis telah ditinggalkan sama sekali di China sejak saat itu.

Betul ketika Mao Zedong masih berkuasa, terutama semasa Revolusi Budaya (1966-1976), ateisme dimanifestasikan dengan sangat keras dan radikal di China. Seluruh rumah ibadah dari berbagai agama dihancurkan Orang dilarang menjalankan ibadah. Bahkan, papan nama arwah yg sangat keramat dalam adat istiadat China pun turut dihancurkan.

Namun, setelah Mao Zedong wafat dan Deng Xiaoping tampil, ia bertekad membawa perubahan. Kebijakan paling menarik dan penting yg harus diketahui orang Indonesia adalah Deng memulihkan kembali eksistensi agama dan rumah ibadah. Artinya apa? Artinya ateisme China yang bersifat keras dan radikal telah ditinggalkan.

Sayangnya, berita2 tentang Deng Xiaoping dan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan ini sayup2 atau bahkan tidak sampai ke telinga dan pikiran orang2 Indonesia. Orang-orang Indonesia (yang mungkin di dalamnya termasuk birokrat dan politisi), selalu menganggap China masih di bawah Mao Zedong dan Revolusi Budaya yang menindas agama Islam.

Tak heran bila berita sensasional penindasan terhadap muslim Uighur di Xinjiang, yang kemudian dilansir sebagai penindasan terhadap semua orang Islam di China, selalu menjadi primadona media2 online dengan target konsumen komunitas politik Islam di Indonesia. Mereka terlihat sangat antusias dg berita2 soal kesengsaraan umat Islam di China macam itu.

Padahal, kebanyakan berita2 tersebut bukanlah liputan langsung jurnalis Indonesia, melainkan dari kantor berita luar negeri yang sedari awal memang bersikap ‘kritis’ terhadap China. Akibatnya, ketika orang Indonesia melakukan lawatan untuk tamasya, kunjungan bisnis, atau kunjungan apapun ke China, mereka akan sangat bingung ketika melihat rumah makan Islam dan keramaian masjid pada hari Jumat.

Agen Cina, hal paling mencengangkan adalah kata2 'agen Cina' ini terlontar bukan dari orang awam, tapi dari kalangan akademik. Artinya, narasi bahwa China sebagai ancaman tidak lekang ditelan zaman. Tidak sama sekali! Persepsi tentang China sebagai ancaman masih mengakar di kalangan publik intelektual Indonesia.

Kenapa begitu ? - Patut diingat, kalangan intelektual Indonesia lebih banyak membaca buku-buku berbahasa Inggris dan/atau terjemahannya dan mungkin sangat dekat dengan alam pikiran Barat. Mereka adalah konsumen besar produk budaya Barat–dari produk ilmiah hingga hiburan. Mereka punya akses ke bioskop yang 90% hanya memutar film Barat; yang gedung2 nya hanya ada di kota2besar dan harga tiketnya lumayan mahal.

Karena itu, mereka sangat akrab dengan film populer misalnya James Bond, satu film masyhur yang mengajak penontonya membenci komunisme. Di film itu digambarkan bahwa pemerintah komunis Soviet sangat jahat dan memiliki agen2 rahasia sebagai pembunuh berdarah dingin.

Adalah jelas bahwa, meskipun olokan 'agen Cina' ini ditertawakan karena dianggap cuma sebuah lelucon, namun menurut saya ini bukan sekadar lelucon, melainkan sebuah penanda: Ada semacam rasa cemas bahwa ada agen2, mata2, atau telik sandi dari China yang dikirim ke Indonesia untuk melakukan kegiatan spionase.

China Komunis, kata ini pasti melekat pada China. Ketika China disebut, orang2 Indonesia akan spontan menyebutkan pula kata ‘komunis’. China dan komunis adalah setali tiga uang yang harus disebut dalam satu tarikan napas. Kata dan konsep komunis ini boleh dikata menjadi ganjalan bagi hubungan Indonesia-China.

Di Indonesia, kata komunis adalah sesuatu yang haram, menakutkan, dan tidak boleh dibicarakan. Bahkan, sampai sekarang masih ada operasi militer melakukan penyitaan buku2 yang dianggap mengandung ajaran komunis, tokoh komunis, dan apapun yang berbau komunis.

Secara lembaga, sebenarnya komunisme telah runtuh, terutama sejak Soviet bubar. Namun, secara kultural, ketakutan terhadap komunis tetap utuh. Menariknya, di kalangan pakar politik, diplomat, maupun lingkaran intelektual kedua negara, sama2 tidak tertarik membicarakan komunisme. Mereka memilih untuk menghindari pembicaraan ideologi dan filsafat ini karena dianggap sebagai tema sensitif.

Yang tak kalah menarik, dulu, kebijakan anti-komunis rezim Orde Baru Soeharto itu tidak tertuju pada komunis Soviet, namun sangat spesifik pada komunis Cina. Pemerintahan Orde Baru ini ģğñķ. mengejawantahkan kebijakan anti-komunis dengan sangat mendalam dan sangat mengakar. Mereka mengeluarkan buku putih sejarah modern Indonesia yang menjelaskan dengan detail kejahatan dan dosa2 kaum komunis di negara kita. 

Namun, kita semua tahu, orang-orang Indonesia jarang sekali membaca. Orang-orang Indonesia mungkin tidak akan membaca buku lagi setelah lulus dari sekolah. Bukan karena mereka tidak suka membaca, tapi karena harga buku bacaan terasa mahal bagi kantong orang Indonesia yang kebanyakan masih kurang mampu.

Tapi uniknya, orang-orang Indonesia sangat suka mendengarkan cerita. Bagi orang Indonesia, cerita mungkin lebih penting daripada fakta. Nah, buku putih itu sampai sekarang masih menjadi rujukan bagi guru2 sejarah di sekolah–baik sekolah dasar, menengah dan atas, atau bahkan universitas. Buku resmi ini kemudian diceritakan ulang oleh guru2 sejarah di semua jenjang sekolah dan lantas mengisi kepala anak2 sekolah Indonesia. 

Karena itu, tak berlebihan jika pelajaran sejarah di Indonesia disebut sebagai indoktrinasi. Dan, ajaran pokok indoktrinasi ini : komunis adalah ideologi jahat, pengkhianat, ateis, antiagama, dan terakhir; China adalah musuh dan ancaman. 

Rezim ini juga menciptakan satu simbol budaya anti-komunis yang sangat sistematis. 'Hari anti-komunis nasional' dilaksanakan tiap 1 Oktober. Ia diberi nama Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila, doktrin politik negara, dibikin menjadi sangat keramat, sangat sakti, dan dianggap mampu menghalau dan memukul mundur komunisme yang sangat berbahaya. 

Peringatan 'hari anti-komunis nasional' itu dilaksanakan secara kolosal, dalam bentuk upacara bendera yang wajib diikuti oleh seluruh siswa, pegawai negeri, dan militer. Malam sebelumnya, TVRI menayangkan film produksi negara berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini menayangkan kejahatan PKI dan campur tangan China pada politik dalam negeri Indonesia melalui pengiriman senapan untuk membantu gagasan PKI mendirikan Angkatan Kelima. China disebut mem-backing kaum komunis Indonesia. 

Ketika berhasil mengambil alih kekuasaan maka kebijakan pertama yang langsung ditetapkan oleh Soeharto dan Angkatan Darat adalah membubarkan PKI dan organisasi2 yg  berafiliasi dengannya seperti LEKRA, BTI, Gerwani, dan CGMI, HSI. Lalu, kebijakan kedua, memutus hubungan diplomatik dengan China. Kemudian, kebijakan ketiga, melarang budaya dan bahasa Tionghoa. Orde Baru menutup semua sekolah berbahasa Mandarin, melarang agama Konghucu, dan melarang surat kabar berbahasa Mandarin. Segala hal yang berbau China dan Tionghoa dilarang, bahkan orang2 Tionghoa yang menggunakan nama Tionghoa harus berganti nama menjadi nama Indonesia.

Ketika Orde Baru runtuh, indoktrinasi2 itu ternyata tidak ikut runtuh. Pemutaran film anti-komunis tidak lagi menjadi tontonan wajib. Upacara peringatan kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan secara besar2 an. Ada usaha dari kalangan sejarawan publik dan LSM kemanusian utk melakukan penyelidikan ilmiah berbasis kemanusian dan HAM terhadap peristiwa 1966. Ada usaha rekonsiliasi pada mereka yg menjadi korban kekerasan militer. 

Namun, buku putih di atas tetap kokoh. Doktrin politik anti-komunis tetap menjadi doktrin resmi negara. Tidak ada usaha serius dan ilmiah dari pemerintah Indonesia untuk melakukan kajian ulang tentang keterlibatan China dalam coup d’état 1965. 

Artinya, China tetap dianggap bersalah. Ini membawa pengaruh kuat pada kesan negatif publik Indonesia terhadap China. Akibatnya, hal2!hal postif, baik, dan bagus yang berasal dari China akan selalu dibayang-bayangi dgn prasangka negatif. Kira-kira begitulah asal usul mengapa publik Indonesia (akan) tetap memiliki prasangka negatif terhadap China.

Lalu, jalan keluarnya bagaimana, gampang saja. Misalnya, pemerintah Indonesia (dalam hal ini Direktorat Sejarah dan Pusat Kajian Sejarah TNI) yang punya pengaruh besar pada pengajaran sejarah sekolah, memberikan koreksi pada persoalan keterlibatan China dan relasi dengan PKI. Diharapkan, dengan begitu, akan memberikan pengetahuan dan kesadaran yang lebih kontekstual.

Misalnya lagi, kalau betul China terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September, maka bisa dijelaskan bahwa itu adalah China pada masa Mao Zedong yang sangat terobsesi dengan revolusi dan komunisme. China masa Mao Zedong adalah China yang sedang berjuang memantapkan posisi internasional di tengah Perang Dingin.

Masih misalnya, lho, ini; pemerintah Indonesia menjelaskan perlunya ada garis pembeda antara China era Mao Zedong dengan era Deng Xiaoping dan setelahnya. 

Sikap anti-komunis Orde Baru adalah terkait langsung dengan sikap ekspansif dan radikal dalam tahap awal Revolusi Budaya yang diprakarsai Mao Zedong. Revolusi Budaya tidak hanya memperburuk diplomasi China, namun juga membawa dampak buruk bagi rakyat China itu sendiri. China pasca-Mao Zedong adalah China baru dan lebih terbuka.

Masalahnya, sikap kritis semacam ini tidak pernah dilembagakan oleh negara. Sifatnya masih sangat informal dan dikeluarkan dalam pidato2  informal oleh sebagian kecil pemimpin politik dan birokrat yang telah melihat langsung China. (Saiful Hakam-LIPI)

Catatan Penulis : Artikel ini merupakan bagian dari draf tulisan berjudul  "Selalu Ambigu" Indonesia-China dalam Hubungan Kebudayaan yang akan diterbitkan dalam bunga rampai yang sedang dikompilasi LIPI.